Selasa, 29 Maret 2011

Jangan Jadi Musisi Karbitan

MENJADI musisi keren, terkenal dan kaya nampaknya masih jadi impian wajib yang dianut oleh banyak anak muda dari waktu ke waktu. Dari era awal berkembangnya musik-pun, impian utk menjadi rock/popstar sudah membius imajinasi anak muda dimana saja.
Mereka membayangkan dirinya tenggelam dalam tumpukan kemewahan materi, first-class attitude dimanapun mereka berada, dikerumuni groupies yang mau melakukan apa saja demi kemauan mereka tanpa terkecuali, dan seribu mimpi-mimpi lain yang mengumbar kebebasan hidup mereka. Benar-benar nikmat bukan? Tetapi ironisnya, banyak musisi muda yang terlalu memaksakan impian tersebut untuk segera menjadi kenyataan. Bagus juga sih, apabila mimpi itu bisa memotivasi untuk lebih giat berkarya. Akan tetapi tidak sedikit yang lupa diri sehingga mereka melupakan suatu proses yg harus dilaluinya sebagai syarat wajib meraih kesuksesan.
Betul, untuk menjadi musisi besar bukan hanya dengan memperbanyak jam terbang di berbagai event, yang kemudian akan melebarkan sayap ketenaran mereka. Tetapi pernahkah mereka sebelumnya membayangkan konsekuensi yang harus dihadapi sebagai seorang musisi? Pernahkah membayangkan benturan-benturan yang akan terjadi dalam kehidupan pribadi dengan kompetensi di dunia entertain? Jika belum, maka disinilah permasalahannya!
Sebenarnya seberapa jauh mental dan kemampuan berkarya mereka telah disiapkan? Apakah hanya dengan menjual gossip murahan nantinya akan mampu menyelamatkan eksistensi mereka? Belum tentu! Inilah saatnya kita sadar bahwa dunia musik adalah suatu pilihan dan membutuhkan pengorbanan, sama seperti profesi lain.
Bayangkan bahwa kita harus menjaga kesegaran pikiran, fisik dan mental agar totalitas dan performa kita selalu terpelihara untuk jangka panjang. Selalu siap merangkum ide segar untuk dijadikan materi lagu untuk modal awal sebuah band.
Menjaga keutuhan band agar selalu dalam keadaan kondusif dan menjamin keutuhan komunikasi antar personil, tak lupa bahwa kita harus memilah kepentingan pribadi dengan kepentingan band pula agar tidak terjadi ketimpangan dalam suatu group. Dan disini pula saya katakan bahwa skill individu menempati nomor urutan yg kesekian setelah syarat utama sebuah band,yaitu: solid.
Memang sah saja apabila banyak terjadi fenomena artis karbitan hanya karena sesuatu yang dinilai unik tanpa bisa dipertanggung jawabkan dalam unsur estetika musikal, seperti halnya yg terjadi di industri musik kita. Cuma saya pribadi yakin bahwa hal tersebut tidak akan berlangsung lama, seperti halnya sebuah trend yang sebetulnya hanya akan memberikan keuntungan bagi label rekaman saja. 
Tak ada salahnya dan bukan bermaksud muluk-muluk bila sejenak kita melihat band living legend kelas dunia seperti The Rolling Stones, Metallica, U2, Motley Crue hingga Iron Maiden. Mereka pun tidak begitu saja meraih kesuksesan. Pelajarilah bagaimana mereka me-maintain band tersebut selama berpuluh tahun, menjaga hubungan dengan member lain agar tetap sinergis, serta menjaga kualitas musik mereka tetap dalam komposisi dan stamina yang prima.
Kadang saya sendiri merasa ikut bahagia ketika melihat Nikki Sixx dan Tommy Lee saling bercanda di twitter seolah mereka masih merasa berusia sekitar 25 tahun, ataupun melihat gaya bercanda personil Iron Maiden di panggung setelah lebih 30 tahun mereka berjuang bersama.
Ketika mereka ditempa oleh waktu dan tuntutan yang berjalan, maka antara kepribadian dan musikalitas personal akan berjalan selaras tanpa beban. Dengan catatan bahwa mereka telah berkomitmen utk terus semangat dalam berkarya, terlepas impian menjadi superstar di kemudian hari (ataupun tidak). [nuza]
*penulis adalah penggagas Rockagila 2011 & vokalis/gitaris band heavy metal ZUES Jogjakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar